Observasi Semenanjung Utara P. Dullah

Posted in 1 on Minggu, April 12, 2009 by uarkhaulani

Oleh TIM MAHASISWA PEDULI EVAV,

HIMPUANAN MAHASISWA MALUKU TENGGARA -SURABAYA

Pantai Sorbat, Desa Tamedan dan Pantai Divur, Desa Lebetawi, Kecamatan Dullah Utara, Kabupaten Maluku Tenggara( Sekarang masuk wilayah Kota Tual, 2007)

Observasi Sabtu, 15 September 2007,Pantai Sorbat, Desa Tamedan, Kecamatan Dullah Utara, Kota Tual.

Pantai Sorbat indah merupakan salah satu “bekas” obyek wisata pantai yang sangat indah, salah satu pantai eksotik dari sekian banyak pantai di Kep. Kei (Nuhu Evav) yang menjadi andalan dari Kabupaten Maluku Tenggara. Pantai Sorbat Indah merupakan salah satu, penyumbang pendapatan dari sektor wisata bagi Kabupaten Maluku Tenggara. Sektor pariwisata merupakan sektor yang menjadi andalan dalam pengembangan Pembangunan Kabupaten Maluku Tenggara, dan Kota Tual saat ini (Wilayah Kepulauan Kei).

Pantai Sorbat indah mengalami masa jaya di awal 90-an, pantai yang tepat berada di Tanjung Sorbat, ujung utara Pulau Dullah ini megalami masa jaya yang sangat singkat, kerusakan mulai terjadi dikarenakan sekitar 1997 (Krisis Ekonomi di Indonesia) terjadi eksploitasi pasir oleh masyarakat lokal Desa Tamedan, Eksplotasi mulai terjadi pada jalur jalan menuju Pantai Sorbat “Indah”, hinnga saat ini kerusakan yang luar biasa di pantai hingga masuk ke area hutan di Tanjung Sorbat, ini semua akibat keserakahan dari kita. Permintaan akan pasir untuk kebutuhan bahan bangunan bagi pembangunan dari pemukiman dan projek pemerintah daerah di Pulau Dullah dan Pulau Kei Kecil menjadi salah satu penyebab kerusakan. Eksploitasi pasir oleh masyarakat Desa Tamedan, menjadi alternativ dari pemasukan dan pendapat ekonomi bagi masyarakat desa (menjadi kontroversi di Desa Tamedan), selain sebagai petani dan nelayan, mengingat bahwa sebagai nelayan penghasilannya sangat kecil, ini juga dikarenakan kerusakan di pesisir pantai dan laut (radius dekat) akibat dari Pengoboman Ikan dan Pemakaian Potasium, sedangkan masyarakat tak mempunyai kemampuan ,keahlian dan tekhnologi dalam penagkapn ikan di laut dalam (radius jauh.

Pulau Dullah adalah Pulau Kecil jangan perkecil lagi”

Air Bersih di Kepulauan Kei

Posted in Lingkungan Hidup on Senin, September 1, 2008 by uarkhaulani

Mereka Menyabung Nyawa untuk Menyambung Hidup

AGUNG SETYAHADI

Sudah berkali-kali Wisno Rettob (41) menggali sumur untuk mencari air tawar. Namun, selalu saja air payau yang dia temukan. Warga menyebutnya air salobar. Para tetangga Wisno di Pulau Fair, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, pun mulai putus asa.

Sulitnya memperoleh air tawar memaksa penduduk di pulau-pulau kecil kawasan Maluku Tenggara mengonsumsi air payau. Mereka mengambil air dari sumur-sumur komunal yang hanya bisa dimanfaatkan saat musim hujan.

“Kami sudah bosan menggali sumur, karena yang diperoleh selalu saja air salobar,” ujar Wisno. Bila musim kemarau tiba, seperti awal Mei ini, air sumur menjadi sangat asin.

Musim berburu air minum pun dimulai.

Guna memperoleh air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, penduduk pulau-pulau kecil di Maluku Tenggara harus mendayung sampan melawan arus deras dan gelombang dahsyat.

Sebutlah misalnya Pulau Fair, Tayando, Kaimeer, Dullah Laut, Dullah Kei Kecil, Ut, Ubur, Hadranan, dan Rumadan. Tidak semua pulau yang luasnya rata-rata kurang dari 1.500 kilometer persegi itu memiliki sumber air yang layak diminum.

“Hidup di pulau kecil ini berat, karena waktu hanya habis untuk mencari air. Kalau tidak sempat menyeberang, satu-satunya pilihan adalah berjalan kaki mengambil air danau di atas bukit,” tutur Ebi Renwarin (38), warga Desa Ngadi, Pulau Dullah Utara, Maluku Tenggara. Danau kecil di Ngadi itu jadi gantungan hidup ribuan penduduk di pantai barat Pulau Dullah.

Perjuangan mencari air minum acap kali harus dijalani dengan menyabung nyawa. Di pulau-pulau Kur, Tayando, Tam, dan Kaimeer, perburuan air bersih membutuhkan nyali besar. Mereka harus mengarungi lautan lepas, menghadapi gelombang setinggi 2 meter.

“Kalau naik speedboat, kita bisa melihat gelombang ada di atas kita. Tetapi, demi air untuk menyambung hidup keluarga, gelombang itu harus dihadapi. Sering sekali perahu warga terbalik dihantam gelombang,” ujar Neri (25), juga warga Dullah.

Pergulatan hidup penduduk di pulau-pulau kecil itu membuat hati trenyuh. Betapa tidak, di wilayah daratan penggunaan air acap kali justru tidak terperhitungkan.

Masyarakat di pulau-pulau kecil itu membuka perspektif baru: betapa tidak enaknya minum air payau. Kenikmatan kopi dan teh menjadi buyar saat rasa garam menyentuh lidah.

Namun, bagi mereka yang telah puluhan tahun terpaksa meminum air payau, “kenikmatan” itu tidak berarti lagi. Setetes air payau pun akan dikejar hingga jauh di seberang pulau demi menyambung hidup.

Penambangan pasir

Di Maluku Tenggara, tanda-tanda bencana itu mulai muncul. Krisis air minum dari tahun ke tahun semakin parah. Pantai-pantai indah mulai rusak oleh penambangan pasir.

Di sepanjang pantai barat Pulau Dullah, penambangan pasir sangat marak. Setiap hari puluhan truk diparkir di tepi pantai menunggu para penambang mengisi pasir ke bak-bak truk.

Di Desa Ngadi dan Dullah, sisa-sisa penambangan pasir menyisakan lubang-lubang luas sedalam tiga meter. Pasir yang menjadi perisai pulau telah hilang, menyisakan batu karang sebagai batuan dasar penyusun pulau. Tumbuhan bakau di bibir pantai menipis, tak kuat meredam empasan gelombang laut.

Pemandangan dramatis tampak di Pantai Serbat, Dullah Utara. Pantai yang semula indah dan menjadi tujuan wisata itu hanya menyisakan hamparan batu karang yang menjorok puluhan meter ke arah laut. Di atas batu karang terkapar batang-batang pohon yang tercerabut dari tempatnya berdiri.

“Pulau-pulau di sini mungkin belum akan tenggelam karena ditolong oleh batu karang yang menyusunnya. Tetapi, kerusakan pantai-pantai berpasir terus terjadi. Pantai-pantai indah hilang, dan air payau pun semakin masuk ke daratan,” kata Alo Tamnge, warga Tual.

Kerusakan alam inilah yang menyebabkan air semakin sulit diperoleh di Tual. Makin banyak sumur gali yang tak bisa dimanfaatkan karena intrusi air laut. Di Tual, Pulau Dullah, Langgur, dan Kei Kecil, beberapa sumur tidak bisa diambil lagi airnya karena sudah terlalu asin.

Kerusakan lahan di Kei Kecil terjadi dari tengah daratan. Lahan kritis di pulau ini mencapai 70 persen dari 67.000 hektar total luas lahan kritis di Maluku Tenggara. Jika dibandingkan dengan luas daratan Kei Kecil yang hanya 127.000 hektar, luas lahan kritis mencapai 36 persen.

Kondisi ini mengancam sumber air minum terbesar di Maluku Tenggara, yaitu Sungai Evu. Sumber air dengan debit 2.000 liter per detik yang dimanfaatkan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) ini bisa saja kering karena lingkungan pendukungnya rusak.

Kini, gerakan menanam pohon di lahan kritis mulai digalakkan. Warga difasilitasi menanam tanaman buah-buahan. Waktu akan menjawab apakah gerakan itu bisa menyelamatkan sumber kehidupan di wilayah tersebut.

Persoalan air bersih itu pulalah yang mestinya menjadi prioritas bagi para pejabat di daerah berpulau-pulau kecil itu. Bukan malah sibuk memikirkan pemekaran…

http://64.203.71.11/kompas-cetak/0705/10/utama/3523568.htm

90% Warga Maluku Tenggara Konsumsi Air Tak Berkualitas

Posted in Lingkungan Hidup on Jumat, Agustus 15, 2008 by uarkhaulani

Sekitar 90 persen warga Kabupaten Maluku Tenggara, yang berjumlah sekitar 140.000 jiwa, mengonsumsi air tak berkualitas. Demikian hasil pengujian laboratorium Dinas Kehutanan, Perkebunan, dan Lingkungan Hidup setempat. Kabid Lingkungan Hidup Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Lingkungan Hidup Maluku Tenggara, John Nahusonna, di Ambon, Senin, mengatakan, tidak berkualitasnya air ini karena mengandung bahan kimia berupa logam berat sehingga mengancam kesehatan masyarakat. “Kami tahun 2006 lalu melakukan pengujian terhadap empat lokasi sumber air ternyata tiga diantaranya tidak boleh dikonsumsi karena mengandung kimia,” tambahnya. Karenanya itu, pada 2007 ini diprogramkan melakukan pengujian lagi terhadap 50 sumber air di Maluku Tenggara sehingga memberikan jaminan bagi masyarakat untuk mengkonsumsi air berkualitas. “Pengalaman selama ini dari kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan Tual, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara senantiasa mempertanyakan hasil pengujian air berkualitas sebelum pengisian air bersih,” ujarnya. John mengisyaratkan tidak berkualitasnya air di Maluku Tenggara ini pun dipengaruhi degradasi hutan yang hingga saat ini tercatat memiliki 126.000 hektar lahan kritis. “Kami pun belum bisa berbuat banyak karena Dephut pun setiap tahun hanya mengalokasikan dana bagi program reboisasi hutan seluas 2.000 hektar,” katanya. Kondisi ini pun belum dihadapkan dengan pembukaan trans Kei Besar yang mengakibatkan terjadinya degradasi hutan lindung. [TMA, Ant] dikutip dari “http://www.gatra.com/2007-09-17/artikel.php?id=107858”

Realita Tanah Evav

Posted in Lingkungan Hidup with tags on Selasa, Agustus 12, 2008 by uarkhaulani

Kegiatan Kampanye Lingkungan Hidup dengan Pendekatan Budaya Masyarakat Evav di Kepulauan Kei, 27-9 September 2007 oleh Tim Mahasiswa Peduli Evav – Himpunan Mahasiswa Maluku Tenggara Surabaya.

Dasar Pemikiran

Kesadaran ekologis dalam pelestarian lingkungan pada tataran global sekarang ini semakin digalakan, Pecinta lingkungan hidup global, terus melakukan aktifitas untuk membangkitkan kesadaran para penghuni bumi akan pentingnya pelestarian lingkungan agar generasi manusia mendatang pun bisa hidup dengan layak. Pemanasan global, mencairnya es kutub, badai elnino, banjir bandang, naiknya air laut yang tidak biasa telah mengajak kesadaran masyarakat dunia untuk bagaimana memperhatikan lingkungan hidup terutama pelestarian hutan sebagai paru-paru dunia, tempat cadangan air minum.

Dalam konteks global kesadaran lingkungan hidup inilah mendapat tempat yang khas karena mencetuskan kesadaran akan pentingnya hutan bagi hidup manusia. Umumnya ulasan mengenai konservasi hutan mengambil fokus teritori yang luas, baik itu pulau besar seperti Papua dan Kalimantan maupun benua. Tapi hanya satu atau dua peneliti saja yang berani dan mampu untuk menerapkan fokusnya untuk suatu pulau yang kecil, berkarang, seperti di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara, dan yang hampir terlupakan di jajaran Nusantara, sebaimana dijuluki the Forgotten Islands of Indonesia oleh antropolog Nico de Jonge dan Toos van Dijk dalam buku mereka (1995).

Keadaan etnoekologis Kepulauan Kei ini menimbulkan keprihatinan dari kami HIMAMALRA-Surabaya sebagai bagian dari generasi muda asal Kep. Kei Maluku Tenggara, yang mencermati ancaman riil terhadap masyarakat masa kini dan mendatang karena kawasan hutan yang sudah menjamin kelangsungan hidup leluhurnya kini semakin menyempit karena di babat warganya secara serakah tanpa terkendali untuk memperluas kawasan perladangan atau untuk menambah uang hasil penjualan kayu demi mendukung ekonomi rumah tangga penduduk. Menyayangkan bahwa proyek reboisasi yang gagal dan penyuluhan dari pihak pemerintah daerah maupun dari kalangan LSM hampir tidak ada untuk membuka dan membangun kesadaran baru pada masyarakat Kei masa kini. Tentu saja ketidaktahuan mengenai penanaman kembali bibit-bibit pohon yang baru ini seharusnya dilatih oleh pemerintah daerah dan LSM bagi masyarakat petani ladang berpihdah yang memang secara adat tidak terbiasa untuk menanam pepohonan tahunan. Mengklaim bahwa perubahan ekologis pada daratan pulau yang kecil ini sungguh drastis, yaitu setiap tahun sekitar 315 ha hutan terbabat, sedangkan pada masa kini hutan di Pulau Kei Kecil ini hanya tersisa 33% saja (Rujukan dari, Erick Lobja, Menyelamatkan Hutan Dan Hak Adat Masyarakat Kei; 2003). Merujuk perubahan ekologis ini pada penyebab yang sering dialami di berbagai kawasan dunia, yaitu adanya kemiskinan, ketidaktahuan, keserakahan rakyat dan pemakaian teknologi gergaji listrik (cbainsaw) dalam 10 tahun terakhir ini. Perubahan ekologis akibat kebutuhan ekonomi jangka pendek juga terjadi di pesisir pantai dengan eksploitasi pasir (-di kawasan potensi wisata-) untuk di jadikan bahan bangunan khususnya kebutuhan pemukiman di Kota Tual yang sangat tinggi. Kerusakan atau lebih tepat kita katakan pengrusakan terhadap kawasan hutan dan pantai dengan penebangan pohon dan pengerukan pasir membawa akibat pada penurunan kwantitas dan kwalitas sumber daya alam dan linkungan hidup, sangat dirasakan dan jadi ancaman riil bagi masyarakat Kepulauan Kei saat ini, Kelangkaan sumber-sumber air, Penurunan kesuburan tanah, peningkatan polusi udara dan panas bumi, kepunahan berbagai jenis flora dan fauna, penyusutan berbagai jenis hasil; laut, abrasi (pengkisan) garis pantai, Intrusi (penncampuran) air laut terhadap air sumur. Serentak juga menyayangkan hilangnya pranata budaya seperti tanda larangan adat yang dikenal sebagai hawear dan yutut (atau sasi di ambon), dan memudarnya makanan tradisional embal, yang dibuaat dari tepung singkong atau ketela pohon dan biasanya bertahan paling kurang 5 bulan, serta yang secara tradisional sudah pernah menjadi persediaan bahan makanan kering untuk masa paceklik. Kini produksi embal lempeng hanya dapat diperoleh di satu-dua desa saja yang sudah di jadikan model cinderamata atau oleh-oleh khas daerah untuk para turis atau para handai toland di luar Kei.

Menyadari bahwa Ada “Sinergi antara Budaya dan Lingkungan Hidup Masyrakat Kei” dan seakan menjadi salah satu solusi yang tepat maka kami Himpunan Mahasiswa Maluku Tenggara-Surabaya (HIMAMALRA-Surabaya) lewat TIM MAHASISWA PEDULI EVAV merencanakan untuk melaksanakan Kampanye Peduli Lingkungan Hidup 2007 dengan “Pendekatan Budaya Masyarakat Evav di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara”. Dengan bahasa adatnya “A batbatang nuhu met Evav” (Selamatkan Tanah dan Laut Evav).

REPORTASE KEGIATAN

Deformasi Lingkungan Hidup
KONDISI LINGKUNGAN PANTAI.
Pantai dan Tanjung Sorbat (Bekas Obyek Wisata Pantai Sorbat Indah)
Terjadi perubahan yang sangat signifikan di Tanjung Sorbat, Desa Tamedan akibat Eksploitasi Pasir, abrasi dan perubahan garis pantai terjadi disepanjang ujung pesisir utara Pulau Dullah ini, dari ujung Desa Tamedan sampai ke pantai Dusun Difur, Desa Lebetawi. Bahkan bukan hanya disekitar garis pantai, eksploitasi pasir ini bahkan terjadi di didalam hutan. Ada sedikit lahan terselamatkan itu dikarenakan lahan tersebut di Tanami Kelapa Hybryda. Lainnya Kritis dan Tragis. Lihat Fotto (TMPE, GZ)

Eksploitaisi Dalam Hutan Pantai Sorbat

Eksploitaisi Dalam Hutan Pantai Sorbat

Pantai Dusun Divur Desa Lebetawi (Dekat Obyek Wisata Pantai Difur, Bekas Lahan PT MINA SANEGA)
Tak disangka Ekploitasi Pasir terjadi juga di Dusun Divur, eksploitasi ini mungkin baru dilakukan sekitar tahun 2004, tapi perubahan sangat cepat terjadi, sampai saat ini pengalian sudah pada level 4 atau devisit 2 meter dari ketinggian tanah awal(menurut salah seorang penggali pasir dilokasi ini), terjadi abrasi yang memungkinkan air masuk sampai ke lokasi Penggalian. Lihat Fotto. (TMPE, GZ)

Pantai Menuju Desa Ngilngof dan Pantai Yanroa (antara Desa Ngilngof dan Namar)
Terjadi perubahan garis pantai akibat abrasi air laut dikarenakan minimnya areal hutan bakau (mangrove). Untuk di Yanroa terjadi abrasi akibat pengambilan beberapa tahun yang lalu namun sekarang sudah ada upaya dengan pelarangan dan pencegahan eksploitasi pasir oleh pemerintah Desa Ngilngof (TMPE, Ronald)

KONDISI LINGKUNGAN HUTAN
Sepanjang Jalan Dari Desa Kolser, Desa Ngayub sampai Desa Selayar, Kecamatan Kei Kecil.
Disepanjang perjalanan yang terhampar hanya lahan tandus, dan berupa lahan semak belukar (Lavetar) khas lahan kritis di Kep. Kei. Ada beberapa areal yang dipaksakan untuk di Tanami Pohon Jati yang rata-rata mencapai ketinggian 2-3 meter. Sungguh sangat disayangkan pula terjadi penanaman jati di dalam areal perkebunan penduduk. Adapun areal yang bisa dikatakan rindang dan banyak pepohonan banyak berada di areal yang dekat dengan pemukiman Desa Ngayub. Atau di areal antara Desa Namar dan Selayar.

Areal Hutan Menuju Desa Sathean dan Ibra
Disepanjang perjalanan yang terhampar hanya lahan berupa semak belukar, lahan ini diperkirakan sebelumnya, adalah lahan yang tertanami oleh pepohonan akasia atau sejenisnya. Ada beberapa areal yang dipaksakan untuk di Tanami Pohon Jati yang rata-rata mencapai ketinggian 2-3 meter. Ada juga lahan yang sengaja dibuka untuk Lokasi Bandar Udara Tual Baru. Sungguh disayangkan Lokasi untuk Bandara ini diletakan di tengah hutan, yang sudah barang tentu akan berdampak pada kelestarian Hutan disekitanya secara berkelanjutan

KONDISI DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN SUMBER AIR

Desa Evu dan Daerah Aliran Sungai Evu.
Disepanjang Daerah Aliran Sungai Desa Evu dikatan oleh masyarakat sendiri dan menurut observasi dapat dikatakan cukup terkendali, dan cukup dipertahankan daerah hutannya , hanya disayangkan terjadi kerusakan hutan akibat pengambilan kayu di sekitar hulu sungai, padahal areal ini merupakan salah satu situs penyuplai cadangan air untuk sungai Efu. Untuk kapasitas cadangan air terjadi juga difisit tapi masih dalam kondisi normal.

Green Belt Danau Ablel Di Desa Ngilngof
Greenbelt di daerah ini cukup terkendali dan cukup dipertahankan oleh masyarakat sekitar.

Green Belt Danau Desa Ohoitel
Disisi utara dan barat kondisi hutannya cukup terkendali kondisnya namun disisi selatan dan timur areal ini cukup kritis, di areal ini melintas Jalan Ngadi-Ohoitel. Lihat Fotto.

Pengeloaan Sumber-Sumber Air Tanah
Ditemukan bahwa eksploitasi air tanah untuk kepentingan komersil dirasa berlebihan dan tak terkendali hal ini tidak diimbangi dengan penghijauan atau pelestarian hutan untuk resapan air tanah. Kondisi ini bisa dilihat di sumber-sumber air tanah di sekitar pantai Un yang dulunya sangat berjaya (mulai dibuka sekitar tahun 1996) sekarang bisa dikatakan sumber-sumber air itu sudah kering. Eksploitasi air kini telah berpindah disekitar daerah Langgur, yang dikhawatirkan kejadian di Un bisa terulang lagi.

Tatanan dan Pola Hidup Masyarakat

Secara Umum Pola Hidup masyarakat dalam bidang pertanian dan perkebunan juga telah mengalami perubahan, Perubahan ini terjadi karena beberapa faktor:
§ Terkikisnya nilai-nilai budaya yang sangat peduli dan delat dengan alam. (Tradisi Hawear, Tradis Pengolahan Kait, Berkurangnya peran masyarakat adat)
§ Kurangnya kesadaran dan sosialisasi tentang tanama produktif
§ Kondisi dan keadaan Lingkungan, dalam hal ini faktor berkurangnya kesuburan tanah, sempitnya lahan untuk pengolahan, cuaca yang tak menentu dan sebagainya
§ Motivasi dan Budaya bercocok tanam dalam masyarakat, yang semakin terkikis. Penyebabnya, selain faktor2 diatas juga disebabkan oleh faktor luar, yakni budaya konsumtif masyarakat karena perubahan zaman, juga orientasi pekerjaan terutama generasi muda yang berpaling dari dunia pertanian, serta tersedianya bahan pangan dan kebutuhan lainnya dari daerah lain. Serta Budaya memanfaatkan pekarangan sebagai lahan kebun rumah tangga sudah sangat berkurang dan sulit ditemukan.
§ Kurangnya kepedulian masyarakat tentang pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, dengan masi terjadinya pemboman ikan, pengunaan potassium, dan pembukaan lahan dengan cara di bakar.
§ Adanya indikasi pemaksaan program penanaman beberapa jenis pohon yang tidak mengindahkan hak tanah ulayat, potensi lahan, jenis tanah dan potensi kayu lokal

Perencanan Pembangunan Yang Berkelanjutan
Dalam proses penataan ruang wilayah, dan proses pembukaan lahan untuk pemukiman yang kurang tertata dan terencana , indikasi bisa dilihat dengan perencanan ruang di daerah Pantai Un tidak dimbangi dengan perencanan ruang terbuka hijau, atau di daerah Fidatan, Mangon, Dumar terlihat ada proses saling tumpang tindih (orientasi bangunan) disetiap persil bangunan.

Pemerintah daerah dalam hal ini dinas-dinas terkait kurang memperhatikan lahan-lahan kosong untuk di alih fungsikan sebagaimana mestinya, juga kurang sosialiasi tetang perencanaan pembangunan wilayah yang berkelanjutan, dan tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan tata ruang kota dan wilayah. Juga dirasa dalam setiap perencanaan pembangunan wilayah kurang memperhatikan Analisa mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL)